FATALISME DAN ILMU PENGETAHUAN DALAM PANDANGAN HARUN NASUTION
By: Zafirah Fitrie Adhiyantami dan Siti Annifah Bachtiar
Sejak
Islam muncul, banyak perubahan yang terjadi di tempat dia diturunkan yaitu di
bangsa arab. Bangsa Arab yang dulunya bisa dikatakan tidak memilikin peradaban
berubah menjadi bangsa yang maju sehingga peradabannya mengalahkan bangsa lain
terutama dalam bidang Ilmu Pengetahuan. Bahkan saat bangsa Eropa mengalami masa
kegelapan dimana ilmu pengetahuannya tidak berkembang karena dikekang kekuasaan
gereja, umat Islam mengalami puncak keemasan ditandai dengan banyaknya
penemuan-penemuan yang ditemukan oleh para ilmuan Islam. Hal ini tentun tidak
lepas dari pengaruh Al-Qur’an yang dijadikan pedoman hidup.
Puncak
keemasan Islam tidak bertahan selamanya. Perlahan-lahan umat Islam mengalami
kemunduran terutama dibidang Ilmu Pengetahuan yang menyebabkan umat Islam yang
dulunya memiliki peradaban yang luar biasa dibandingkan bangsa yang lain
menjadi bangsa yang tertinggal bahkan mulai dilupakan oleh bangsa lain.
Banyakk factor yang mempengaruhi kemunduran umat Islam
dalam ilmu pengetahuan, seperti runtuhnya Dinasti Abbasiyah, penyerangan tentara mongol
di Baghdad, penjajahan oleh negara Barat, serta berkembangnya teologi Jabariyah
(fatalisme). Walaupun teologi fatalisme membawa pengaruh positif terhadap
ketenangan hidup tapi paham ikut mendorong kemunduran Ilmu pengetahuan dalam
Islam karena paham ini menyebarkan sifat penyerahan diri kepada takdir atau
dengan kata lain manusia tidak punya kehendak bebas karena sudah diatur semua
dalam takdir oleh Tuhan akibatnya menyebabkan manusia tidak mau berusaha atau
membawa perubahan.
Zaman
sekarang ini, pembahasan mengenai fatalisme atau lebih masyhur dikenal dengan
istilah “Selalu percaya pada garis takdir” tidak lagi menjadi pembahasan yang
menarik, karena manusia modern lebih mengedepankan akal dan ilmu pengetahuan,
sehingga lebih kepada hasil yang rasional. Semua kelompok sudah
terserap kedalam ilmu, semua orang sudah bersekolah bahkan kelompok dalam islam
yang biasanya disandang dengan predikat fatalistik seperti tradisionalis atau
NU juga sudah bersekolah,artinya bahwa mereka juga mengapresiasi ilmu
pengetahuan(Nasution , 1995).
Tapi
jika kita melihat kembali ke belakang, ketika kemunduran Ilmu Pengetahuan dalam
sejarah islam dan lahir teologi fatalisme (Jabariyah), asy’ariyah dan
Qadariyyah, permusuhan terhadap filsafat yang dipelopori oleh imam Al-Ghazali
dan kemudian disusul dengan terhambatnya perkembangan ilmu pengetahuan, bukan
hanya ilmu hukum tetapi juga ilmu agama sudah tidak ada ijtihadnya. Semuanya
hanya mengikuti taklid yang sudah dirumuskan oleh para imam mujtahid, sampai
pada saatnya negeri muslim dijajah oleh negara Eropa. Bangkitnya negara Eropa
ditandai dengan renaissance, pada abad ke-17, teknologi berkembang
sehingga industri Eropa Barat maju pesat(Nasution , 1995).
Pada
zaman pertengahan, Teologi sunatullah dengan pemikiran rasional,filosofis dan
ilmiah itu sudah hilang dari dunia islam dan pindah ke Eropa melalui
mahasiswa-mahasiswa Barat yang datang ke Andalusia(Spanyol). Dengan
diterjemahkannya buku-buku ilmiah karangan ilmuan islam ke bahasa Latin, ilmu pengetahuan
diambil oleh orang Eropa,ketika umat islam mulai mengalami kemunduran dalam
sejarah kebudayaan. Saat itu juga ada pemikiran Ibnu Rusyd(Averroes) bahwa antara
agama dan filsafat tidak ada pertentangan,kemudian berkembang Averroisme yang
membawa pikiran rasional,filosofis dan ilmiah dari Ibn Rusyd, filosofis Islam
pada abad ke dua belas. Jika di dunia islam Averroisme membawa keselarasan antara
agama dan filsafat. Di Eropa Averroisme membawa kebenaran ganda, kebenaran yang
dibawa oleh agama adalah benar dan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar(LeBon, 1884).Averrosime mendorong
lahirnya Renaissance di Eropa yang pada gilirannya , membawa Eropa ke
zaman Modern dengan kemajuan yang sangat pesat dalam bidang Sains dan
Teknologi. Pada masa itu dunia islam memasuki masa kemunduran, teologi
sunatullah dengan pemikiran rasional,filosofis dan ilmiahnya itu telah hilang
dari dunia islam dan telah digantikan oleh teologi kehendak mutlak tuhan yaitu Jabariyah atau Fatalisme yang pengaruhnya
sangat besar bagi umat islam di dunia dimulai dari abad ke-12 sampai sekarang(Nasution , 1995).
Salah
satu jalan yang dilihat oleh para ulama seperti Jamaluddin Al-Afghani yang melanglang dunia islam,Muhammad Abduh di
Mesir, Zia Gokalp di Turki, dan Sayyid ahmad Khan di India mereka kembali ke
Teologi sunatullah yang pemikirannya rasionalis,filosofis dan dan ilmiah zaman
Klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman Modern. Mereka melihat bahwa
sains yang berkembang pesat di Eropa , perlu dikuasai kembali oleh ulama dan
kaum kaum terpelajar Islam. Hal ini yang menyebabkan kembali hidupnya orientasi
keduniaan umat yang telah hilang pada Zaman Pertengahan.
Mulai didirikan sekolah-sekolah abad ke 19, diajarkan metode berfikir
rasional,filosofis dan ilmiah. Sains di sekolah ini sangat dipentingkan,
sehingga timbul golongan terpelajar di dunia Barat disamping ulama lulusan sekolah
agama. Sekolah ini masih tetap menggunakan teologi tradisional,nonfilosfis, dan
nonilmiahnya. Jika di kalangan kaum terpelajar Barat
mulai berkembang teologi kehendak mutlak Tuhan
zaman pertengahan. Oleh karena itu besar pengaruhnya kepada umat produktivitas di
dunia islam zaman modern mulai meningkat
lagi(Nasution , 1995).
Di Indonesia muncul seorang tokoh berpengaruh yaitu
Harun Nasution salah satu murid dari Muhammad Abduh di Mesir,ia lahir di
Pematang Siantar,Sumatera Utara,23 September 1919. Menurut Harun Nasution Ciri-ciri kehendak Jabariyah adalah akal yang rendah,kedudukan akal
yang rendah ini dapat membuat pemikiran apapun dalam kehidupan ini menjadi
tidak berkembang atau berhenti. Ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan menganggap bahwa segala nasib dan perbuatan telah ditentukan tuhan
sejak awal, inilah yang membuat sikap seseorang menjadi statis dan fatalis.Kebebasan
berfikir yang diikat oleh banyak dogma pada zaman klasik hanya ajaran dasar
alquran dan hadits yang jumlahnya sedikit yang mengikat kebebasan berfikir,
maka pada zaman pertengahan interpretasi dari para ulama berubah menjadi dogma
yang tidak boleh dilanggar padahal dogma itu sendiri mengikat kebebasan
berfikir. Akibatnya ruang lingkup berfikir menjadi sempit,ketidakpercayaan
kepada sunatullah dan kausalitas menimbulkan keyakinan alam ini diatur oleh
kehendak tuhan, didalam alam ini tidak ada peraturan lagi semuanya sudah
berjalan berdasarkan kehendak mutlak tuhan sikap ini menjadikan sikap fatalisme
umat semakin menjadi, terikat kepada arti tekstual dari Al-Quran dan hadis
telah membuat kebanyakan orang menjadi berpandangan sempit dan bersikap fanatik
, tidak bisamenerima pendapat orang lain.Statis dalam sikap dan berfikir,
keadaan ini membuat umat islam pemikirannya menjadi terbelakang, tidak sesuai
dengan perjuangan zaman dan akibatnya
umat tertinggal oleh umat lain pada zaman pertengahan(Nasution , 1995).
Umat
islam pada zaman Pertengahan berorientasi keakhiratan serta menganggap
kehidupan dunia sebagai sesuatu yang hina,
oleh karena itu pekerjaan seperti dagang, industri, dan pertanian dianggap rendah. Pekerjaan itu dianggap hanya layak
bagi kaum non-islam,pandangan inilah yang menyebabkan Sains hilang dari dunia
islam zaman Pertengahan(Nasution , 1995).
Fatalisme atau
jabariyah tidak bisa dianggap hal sepele karena paham ini yang menjadi salah
satu faktor kemunduran Islam selama beberapa abad. Paham ini membuat umat Islam
menyerahkan segala urusan pada takdir sehingga tidak mau melakukan pengembangan
terhadap ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan sangat berpengaruh terhadap
peradaban suatu bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar